Jumat, 29 Oktober 2010

Bandung Terancam Gempa Dahsyat

Kota Bandung dan sekitarnya terancam diguncang gempa besar berkekuatan 7,5 pada skala Richter (SR). Ancaman ini bisa muncul, jika terjadi pergerakan di sejumlah lempeng penyusun patahan Cimandiri-Lembang. Jika ini terjadi, gempa besar tersebut akan mengguncang cekungan Bandung. Selain Kota Bandung, Cimahi, Padalarang, serta Lembang, gempa juga mengintai sejumlah wilayah di Sukabumi, termasuk Palabuhanratu.

”Sesar Cimandiri-Lembang masih tergolong aktif. Yang menjadi masalah terbesar, sesar ini dikelilingi wilayah padat penduduk, seperti Kota Bandung dan Kota Cimahi,” tutur pakar geoteknologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Danny Hilman Natawidjaja, usai Seminar Mitigasi Bencana Geologi di Hotel Horison, Bandung, Rabu (23/5).

Sesar (patahan) yang memanjang dari Palabuhanratu Kab. Sukabumi hingga Maribaya Lembang itu tersusun oleh lebih dari lima segmen batuan. Salah satunya, Segmen Maribaya-Cimahi, yang panjangnya mencapai 25 km. Menurut Danny, jika terjadi secara bersamaan, pergerakan 3-4 segmen saja sudah bisa menimbulkan gempa dengan kekuatan mencapai 7,5 pada skala Richter.

Berdasarkan penelusuran ”PR”, gempa berkekuatan 7-7,9 SR dapat mengakibatkan kerusakan serius pada areal yang cukup luas. Diperkirakan, gempa ini bisa menghancurkan sebagian besar gedung dan fondasinya. Bahkan, getarannya bisa menimbulkan retakan tanah di areal yang cukup luas. Kerusakan yang ditimbulkan bisa disetarakan dengan ledakan 160 juta ton TNT (trinitrotoluene).

Kalaupun yang mengalami pergeseran hanya satu segmen, menurut Danny, gempa yang ditimbulkan bisa mencapai 6 SR. Bahkan, jika Segmen Maribaya-Cimahi yang bergerak, kekuatan gempa bisa menembus angka 6,9 SR. Gempa ini cukup untuk menimbulkan retakan tanah dan menghancurkan bangunan dalam radius lebih dari 100 kilometer.

Sayangnya, menurut Danny, hingga saat ini sesar Cimandiri-Lembang belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal, potensi bencana yang akan ditimbulkan akibat pergerakan sesar tersebut cukup besar.

”Sejauh ini, pergerakan yang terjadi di sekitar patahan Cimandiri-Lembang memang masih relatif aman. Bahkan, berdasarkan data 100 tahun terakhir, belum diketahui adanya pergerakan yang bisa menimbulkan bencana besar,” tuturnya.

Namun, mengingat padatnya wilayah di sekitar sesar alam itu dan tingginya potensi gempa yang bisa ditimbulkan, ia menyarankan agar pemerintah segera melakukan penelitian lanjutan. ”Bagaimanapun kita tinggal di areal rawan gempa. Kapan saja, sesar tersebut bisa mengalami peningkatan aktivitas,” tuturnya.

Dia menilai, data yang ada saat ini belum mencukupi kebutuhan minimal untuk digunakan sebagai acuan melakukan tindakan pencegahan maupun langkah evakuasi. Padahal, selain kecepatan pergeseran, struktur tanah dan batuan yang ada di sekitar wilayah gempa juga memiliki andil yang besar untuk menentukan besarnya dampak yang ditimbulkan.

”Suatu gempa dengan kekuatan yang sama dapat menimbulkan efek yag berbeda, bahkan di dua lokasi yang jaraknya berdekatan sekalipun,” tutur Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Dr. Antonius Ratdomopurbo.

Walaupun sebuah bangunan yang berjarak 10 km dari pusat gempa rusak parah, menurut dia, tidak tertutup kemungkinan jika bangunan lain yang berjarak 3 km dari pusat gempa hanya mengalami retak ringan. Hal itu dipengaruhi susunan sedimentasi tanah yang ada di lokasi tersebut.

”Karena itu, untuk melakukan mitigasi bencana perlu dilakukan penelitian secara menyeluruh, termasuk struktur sedimentasi yang membangun lapisan tanah di suatu daerah. Dengan demikian, pemerintah bisa dengan efektif melakukan mitigasi bencana,” katanya.

Penelitian menyeluruh di patahan Cimandiri-Lembang, menurut Danny, diperlukan untuk memprediksi sumber gempa, efek yang ditimbulkan, dan bagaimana kerusakan yang akan timbul. ”Dengan demikian, proses mitigasi bencana bisa dilakukan dengan efektif dan efisien,” kata Danny. (A-150)***

Bandung Terancam Gempa Dahsyat

Bandung Terancam Gempa Dahsyat

Kamis, 28 Oktober 2010

Menengok Mentawai Setelah Tsunami

Gempa 7,2 skala Richter mengguncang, lalu disusul tsunami ratusan meter menggulung sejumlah tempat di Kepulauan Mentawai. Ratusan tewas, ratusan pula yang hilang. Medan yang sulit membuat pasukan penyelemat, pengirim bala bantuan, tak bisa datang lekas. Gambar dari lokasi pun tak sampai ke publik secepat yang diharapkan.

Di pusat pemerintahan, sejumlah kejadian membuat kita termangu. Ada pencabutan peringatan tsunami yang terlalu dini. Ada pula menteri yang sibuk mengklaim tak ada kesulitan komunikasi di Mentawai.

Mari kita tengok Mentawai. Doakan saudara kita, bantu mereka dengan berbagai cara.

Sejumlah penduduk yang selamat berjalan melintasi daerah yang disapu tsunami di Pagai Utara, Kepulauan Mentawai. (AP Photo/Setwapres)

Rombongan Wakil Presiden Boediono mengamati kantong jenazah para korban tsunami di Pagai Utara. (AP Photo/Setwapres)

Seorang perawat memeriksa bayi di klinik darurat Sikakap, Kepulauan Mentawai. (AP Photo)

Pandangan udara sebuah desa yang hancur dua hari setelah tsunami menghantam Pulau Pagai, Kepulauan Mentawai, Sumbar, Rabu (27/10). Badan Penangulangan Bencana Daerah Sumbar menyebutkan korban tewas 282 orang sedangkan jumlah warga dilaporkan hilang 411 orang, korban luka berat tercatat 77 orang dan luka ringan 25 orang. (Antara/Setwapres)

Kondisi Desa Pasapuat, Dusun Saumanganya, Kecamatan Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai pascagempa 7,2 SR disertai gelombang tsunami, Senin (27/10). Tsunami juga terjadi di kecamatan Pagai Selatan dan Kecamatan Sikakap. (Antara/Rapot Pardomuan)

Kondisi Desa Pasapuat, Dusun Saumanganya, Kecamatan Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai. (Antara/Rapot Pardomuan)

Dua warga Australia Daniel Scanlan, kiri, dan rekannya yang terluka Robert Marino, saat tiba di pelabuhan Padang, Rabu (27/10). Mereka tengah berada di atas perahu sewaan, masih di tepi pantai, saat tsunami menyerbu. (AP Photo/Achmad Ibrahim)

Dodi IR

DKI jakarta Banjir 25 Oktober 2010

"Kalau Mau Jakarta Lebih Baik Serahkan pada Ahlinya". Ini bunyi sebuah spanduk saat berlangsungnya pemilihan gubernur DKI Jakarta. Sang pemilik jargon, Fauzi Bowo yang akrab disapa Foke, akhirnya terpilih menjadi gubernur. Kini usia kepimpinan "Sang Ahli" sudah berusia tiga tahun.

Foke memang sosok yang akrab dengan ibukota. Pria berumur 62 tahun ini, lahir dan besar di Jakarta. Pendidikannya juga mantap. Dia jebolan arsitektur bidang Perencanaan Kota dan Wilayah dari Technische Universitat Braunschweig Jerman. Program doktornya diambil dari Universitas Kaiserlautern, Jerman.

Jangan tanya perkara pengalaman. Foke berkarier di lingkungan Pemerintah Daerah DKI Jakarta sejak 1977. Di antaranya dia pernah menjadi Kepala Biro Protokol dan Hubungan Internasional, serta Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Bahkan, sepuluh tahun menjabat Wakil Gubernur di masa dua periode kepemimpinan Sutiyoso (1997-2007).

Bahwa Jakarta memiliki sejumlah persoalan yang akut, salah satunya adalah banjir, tentu Foke juga sudah paham. Apalagi riwayat banjir ini memang sudah muncul sejak Jan Pieterszoon Coen membangun Jakarta dengan nama Batavia pada 1619. Waktu itu Coen sudah membuat desain waterfront city (kota air).

Kompeni gagal menerapkan kota air ini. Karena itu, Jakarta dilanda banjir besar pada 1621, 1654, dan 1918. Rupanya kegagalan ini berlanjut terus hingga Indonesia merdeka. Banjir besar terjadi lagi pada 1976, dan 1996. Kemudian pada 1997 banjir menjadi tragedi nasional, sebab terjadi di seluruh kota Jakarta, ribuan orang mengungsi.

Bahkan ketika Foke menjabat Wakil Gubernur, pernah terjadi dua kali banjir besar, yaitu pada 2002 dan 2007. Peristiwa ini lebih buruk dibandingkan dengan tahun 1997. Banjir sudah sampai menewaskan orang dan puluhan ribu orang mengungsi.

Jadi Foke memang seharusnya sudah mengantongi solusi banjir di ibukota. Rasanya, kalau sampai pakar yang turun tangan ibarat mengajari ikan berenang.

Begitu menjadi orang nomor satu di DKI, Foke menyatakan langsung bekerja keras mengendalikan banjir. Bak bertepuk dada, ketika dia mengatakan berhasil membangun Kanal Banjir Timur ke laut di Teluk Jakarta.

Kanal ini panjangnya 23,57 kilometer, dengan lebar 100 -200 meter dan kedalaman 3,7 meter. Bahkan untuk 2010, Pemerintah DKI mengalokasi dana Rp1,677 Triliun untuk membiayai program pengendalian banjir

Tetapi apa yang terjadi, Jakarta tetap saja banjir. Bahkan ketika hujan turun deras pada 25 Oktober 2010, hampir seluruh penjuru Jakarta banjir. Tentu saja ini membuat warga jengkel. Banyak pemilik jejaring sosial mengecam kepemimpinan Foke.

Di antara mereka ada yang membuat istilah satir "Jakarta Berkumis". Maklumlah, Foke adalah satu-satunya Gubernur DKI Jakarta yang berkumis, sedangkan sebelas gubernur pendahulunya tak satu pun yang memelihara bulu tebal di atas bibirnya.

Foke menanggapi enteng saja kejengkelan warga. Dia bermain dengan kata-kata. Suatu kali dia bilang tak ada banjir di Jakarta. "Itu hanya genangan air. Harus dibedakan antara banjir dan genangan," kata Foke kepada wartawan. "Kalau banjir itu, satu dua hari air di situ. Sedangkan genangan air, itu hanya lewat saja."

Foke benar, memang harus dibedakan antara banjir dan genangan. Menurut Kamus Bahasa Besar Indonesia, banjir itu adalah berair banyak dan deras. Selain itu untuk peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat, dalam kamus juga disebut banjir.

Sedangkan genangan, ini dari kata dasar genang yang maknanya terhenti mengalir. Biasanya kata ini untuk hal-hal yang kecil, misalnya "bergenang air matanya mendengar cerita sedih itu." Kalau yang lebih luas, misalnya "tanaman padi menjadi busuk karena tergenang air berhari-hari.

Kendati dalam program kerjanya juga disebutnya banjir, terserah saja kata apa yang hendak digunakan Foke untuk menjawab pertanyaan masyarakat. Tak penting bersilat lidah, sebab warga Jakarta ingin pemimpinnya menyelesaikan persoalan yang sudah akut ini.

Kerugian warga Jakarta sangat besar akibat banjir itu. Bahkan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia memperkirakan kerugian akibat kemacetan dan banjir di Jakarta mencapai Rp 3 triliun, ini untuk hitungan lima hari saja. Karena itu, para penghusaha muda meminta pemerintah DKI Jakarta serius memecahkan masalah banjir dan kemacetan.

Bagaimana Foke menjawab masalah ini? Foke hanya meminta seluruh masyarakat Jakarta mahfum kondisi ibukota. " Saya mohon masyarakat maklum dan paham dengan kondisi ini," katanya kepada wartawan.

Selain itu, setiap bicara banjir, pemerintah pasti menyodori angka rupiah yang dibutuhkan. Kali ini, untuk mengatasi banjir pemerintah DKI butuh Rp 100 triliun. Bahkan, pemerintah DKI yang dipimpin Foke meminta bantuan pemerintah pusat.

Jika demikian, pantaskah Foke mengklaim diri sebagai ahlinya Jakarta?

Nurlis Effendi; Foto Antara/Prasetyo Utomo


Jumat, 22 Oktober 2010

Sejarah Cianjur

Beginilah dokumen Pendopo tempat tinggal Bupati Cianjur dari masa ke masa sehingga jadi Pendopo Bupati seperti saat ini.(FOTO:DOK IST/RADAR CIANJUR)
Seiring perubahan zaman, tak semua warga asli Cianjur mengetahui sejarah berdirinya Kabupaten Cianjur. Maka perlu dibuka bagaimana babat Cianjur yang berawal dari munculnya Raden Wiratanu putra RA Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang 2 Juli 1677, hingga membuka jadi Kabupaten Cianjur saat ini. RIKI RIZKI, Cianjur CIANJUR Sudah berusia ke 333 tahun (12 Juli 1677-12 Juli 2010). Pada usianya yang sudah termasuk tua itu banyak peninggalan-peninggalan masa lalu yang bisa dikenang. Berdasarkan Babad Cianjur, terguar sejak tiga abad silam merupakan saat bersejarah bagi Cianjur. Karena berdasarkan sumber-sumber tertulis, sejak tahun 1614 M di daerah Gunung Gede dan Gunung Pangrango ada di bawah Kesultanan Mataram, sekitar tanggal 2 Juli 1677, Raden Wiratanu putra RA Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang mengemban tugas untuk mempertahankan daerah Cimapag dari kekuasaan kolonial Belanda yang mulai menanamkan kekuasaanya di nusantara. Upaya Wiratanu untuk mempertahankan daerah ini juga erat kaitannya dengan desakan Belanda/VOC saat itu yang ingin mencoba menjalin kerjasama dengan Sultan Mataram Amangkurat I. Namun sikap patriotik Amangkurat I yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda/VOC mengakibatkan ia harus rela meninggalkan keraton tanggal 2 Juli 1677. "Kejadian ini memberi arti bahwa setelah itu Mataram terlepas dari wilayah kekuasaannya," kata Budayawan Cianjur Abah Ruskawan, ketika mengguar sejarah awal Cianjur. Menurutnya, pada pertengahan abad ke-17 ada perpindahan rakyat dari Sagara Herang yang mencari tempat baru di pinggir sungai untuk bertani dan bermukim di tempat tinggi. Babakan atau kampung mereka namakan menurut nama sungai. Di mana pemukiman itu berada di sekitar Cikundul dan Cikalongkulon. Seiring dengan itu Raden Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga keturunan Sunan Talaga, terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk Agama Islam. "Sedangkan para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk agama Hindu," sebut Abah. Aria Wangsa Goparana kemudian mendirikan Nagari Sagara Herang dan menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya. Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi Ibu Nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 sub nagari tempat Raden Djajasasana disebut Cianjur (Tsitsanjoer-Tjiandjoer)

Minggu, 03 Oktober 2010

Foto-foto sensual Sandra Dewi (khusus untuk pria dewasa yang normal)

Andaikan bidadari di surga secantik Sandra Dewi, maka cukuplah alasan bagi kita kaum pria, terutama diriku sendiri, untuk berburu pahala. (Lihat “Konsultasi: Menikahi Mantan Pelacur“.) Padahal, bidadari di surga lebih cantik daripada wanita tercantik sedunia.

Dengan lebih cantiknya bidadari di surga daripada wanita tercantik sedunia, maka perlu diiming-imingi apa lagikah diri kita supaya kita lebih bersemangat mengejar surga akhirat dan tidak terbuai dalam kenikmatan dunia?

“… dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap [dipandang] mata dan kamu kekal di dalamnya”. (QS 43:71)

Sandra Dewi

“Demikianlah, dan Kami nikahkan mereka dengan bidadari” (Q.S. Ad-Dukhan 54)

“Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya”. (Q.S. Al-Baqarah 25)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) itu secara khusus, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.” (Q.S. Al-Waqi’ah 35–36)

”Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Q.S. Ar-Rahman 70–71)

Sandra Dewi

Bagaimana dengan kaum wanita? Kalau pria mendapat bidadari cantik, wanita memperoleh apa? Tentunya yang setara!

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi walau sedikit pun” (QS An-Nisa’ 124)

Tidak dizalimi” itu berarti mendapat keadilan. Nah! Itulah dalil yang menunjukkan bahwa perempuan di surga pasti akan mendapat sesuatu yang kenikmatannya setara dengan kenikmatan lelaki yang memperoleh bidadari cantik.

“… dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap [dipandang] mata dan kamu kekal di dalamnya”. (QS 43:71)

Japanese Katakana

Origin

The katakana syllabary was derived from abbreviated Chinese characters used by Buddhist monks to indicate the correct pronunciations of Chinese texts in the 9th century. At first there were many different symbols to represent one syllable of spoken Japanese, but over the years the system was streamlined. By the 14th century, there was a more or less one-to-one correspondence between spoken and written syllables.

The word katakana "part (of kanji) syllabic script". The "part" refers to the fact that katakana characters represent parts of kanji.

Characteristics and usage of katakana

The katakana syllabary consists of 48 syllables and was originally considered "men's writing". Since the 20th century, katakana have been used mainly to write non-Chinese loan words, onomatopoeic words, foreign names, in telegrams and for emphasis (the equivalent of bold, italic or upper case text in English). Before the 20th century all foreign loanwords were written with kanji.

Katakana are also used to write Ainu, a language spoken on the northern Japanese island of Hokkaido.

Katakana and the kanji from which they developed

In each column the rōmaji appears on the left, the katakana symbols in the middle and the kanji from which the symbols were derived on the right.

katakana syllabary and the Chinese characters from which the syllables are derived

The symbols for 'wi' and 'we' were made obsolete by the Japanese Minsitry of Education in 1946 as part of its language reforms.

Katakana syllabary (片仮名 / カタカナ)

The symbols on the right are the basic katakana syllabary in the order they appear in dictionaries and indices (reading from left to right and top to bottom). Additional sounds (the symbols on the right) are represented by diacritics and combinations of symbols.

Katakana syllabary

Long vowels

How long vowels are written in katakana

Download this chart in Word, or PDF format (also includes hiragana).

Pronunciation

Japanese pronunciation

Sample text in Katakana

Sample text in Katakana

This text in standard Japanese

すべての人間は、生まれながらにして自由であり、かつ、尊厳と権利とについて平等である。人間は、理性と良心、とを授けられてあり、互いに同胞の精神をもって行動しなければならない。 (Article 1 of the Universal Declaration of Human Rights)

Transliteration (rōmaji)

Subete no ningen wa, umare nagara ni shite jiyū de ari, katsu, songen to kenri to ni tsuite byōdō de aru. Ningen wa, risei to ryōshin o sazukerareteari, tagai ni dōhō no seishin o motte kōdōshinakerebanaranai.

Hear a recording of this text

Translation

All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.
(Article 1 of the Universal Declaration of Human Rights)

Jumat, 01 Oktober 2010

Intrusi Air Laut Sudah Sampai Monas?

MANAJEMEN AIR

Jumat, 1 Oktober 2010 | 10:36 WIB
KOMPAS/PRIYOMBODO
Seorang penumpang meninggalkan bus yang mogok akibat terjebak genangan air di Jalan H Agus Salim, Jakarta Pusat, Kamis (12/11/2009). Hujan deras yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya mengkibatkan sejumlah daerah tergenang. Kondisi tersebut berdampak pada kemacetan lalu lintas.

Wilayah DKI Jakarta yang terkena intrusi air laut sudah mencapai 10 kilometer dari pantai. Bahkan, beberapa peneliti mengatakan, intrusi air laut itu telah mencapai Monas.

Pusat, ia tidak pernah mengonsumsi air sumur untuk keperluan masak. ”Airnya memang bening, tetapi rasanya payau. Untuk keperluan masak, saya memakai air PDAM,” katanya.

Kejernihan air tanah juga diakui Dawud (59), warga Kelurahan Senen. Sama seperti Sari, Dawud juga menggunakan air tanah hanya untuk mandi dan mencuci. Hal ini ia lakukan sejak tahun 1970-an ketika bermukim di situ.

Wilayah Jakarta Barat bagian utara, seperti Kamal di Kecamatan Kalideres dan Kapuk di Kecamatan Cengkareng, merupakan wilayah yang paling parah terkena intrusi air laut. Air sumur warga di daerah itu sudah terasa payau.

Hasyim, salah satu warga Kampung Belakang, Kamal, mengatakan, air sumur di rumahnya sudah terasa payau sehingga tidak bisa dikonsumsi. ”Untuk air minum dan memasak, saya beli dari orang jual air keliling,” ujar Hasyim yang tinggal di daerah itu sekitar 10 tahun.

Hal yang sama dituturkan warga Tegal Alur, Cengkareng, Priyatno. Ia mengatakan, air sumur di sekitar tempat tinggalnya sudah tidak bisa dikonsumsi untuk minum atau memasak. Dia pun terpaksa membeli air karena tidak ada aliran air dari PDAM ke kampungnya. Jarak laut dari kedua wilayah itu sekitar 3 kilometer.

Jika di kawasan Kemayoran air payau itu masih berwarna bening, di kawasan Jakarta Utara air sudah tampak kekuningan, keruh, dan seperti berminyak. Romelah (47), warga Semper Barat, Cilincing, mengatakan, air kuning ini sudah dirasakan sejak lama. ”Mungkin sudah 20 tahun lebih. Dulu, waktu saya masih kecil, saya mandi pakai air sumur timba. Sekarang, kalau mandi pakai air sumur, bisa gatal-gatal,” ujarnya.

Intrusi di kawasan Jakarta Utara terjadi tidak hanya di air sumur dangkal, tetapi juga di sumur air dalam. Hal ini karena selain air laut masuk dari dalam, Jakarta Utara juga kerap dilanda rob (gelombang pasang). Parahnya, permukaan tanah di Jakarta Utara lebih rendah daripada permukaan laut sehingga air genangan rob tidak mudah mengalir kembali ke laut.

Usman (53), warga RT 03 RW 07, Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, mengatakan, rob selalu terjadi tiap bulan. Namun, sudah 10 tahun terakhir kondisinya semakin parah. Jika dulu ketinggian air hanya sebatas betis orang dewasa, sekarang ketinggian air rob mencapai perut orang dewasa.

Permanen

Menurut Prof Dr Otto SR Ongkosongo, peneliti utama dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Selasa, kedalaman intrusi air laut di Jakarta berkisar 100-120 meter di bawah permukaan tanah. ”Intrusi ini bersifat permanen sehingga bila sudah mencemari tanah suatu daerah, akan selamanya kandungan garam dan air laut tetap akan ada,” kata Otto.

YP Chandra, Wakil Ketua Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia, mengatakan, fenomena penurunan permukaan tanah dan kenaikan muka air laut tidak harus ditanggapi dengan kekhawatiran berlebihan. Dengan upaya antisipasi yang tepat, ancaman Jakarta tenggelam bisa dihindari.

”Penurunan tanah dan naiknya air laut juga terjadi di banyak tempat di dunia. Fenomena ini terjadi dalam jangka waktu lama dan terpantau. Oleh karena itu, jika mulai diterapkan penataan kota yang tepat, ancaman tenggelam tidak akan terjadi,” kata Chandra.

Dengan kondisi seperti ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga dinilai sudah waktunya mengubah manajemen air. Dengan perubahan ini, terjadinya penurunan permukaan tanah dan intrusi air laut bisa dicegah laju kecepatannya.

Firdaus Ali, pengajar Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memikirkan untuk tidak segera membuang air hujan ke laut. Air hujan sebaiknya ditampung di danau, situ, dan kolam penampungan sebagai tandon air hujan. Air itu dapat dimanfaatkan sebagai air baku untuk diolah menjadi air bersih bagi Jakarta.(FRO/ART/NEL/ECA/ARN)

sumber : JAKARTA, KOMPAS.com

"Rezzboy™"